Gue yakin,
setiap orang pernah merasakan yang namanya cinta pertama. Yaaa meski ceritanya
belum tentu indah tapi pasti memorable. Beberapa pasangan pernah mengucapkan
kata-kata yang terus diingat. Biasanya sih kisah cinta pertama terjadi di
masa-masa indah, masa ketika kita masih menjadi anak polos, SD, SMP, dan
mungkin ada juga yang di SMA.
Jujur, otak
gue bego dalam hitung-hitungan. Matematika, fisika, kimia dan segala jenisnya
yang bikin gue bengek. Tapi setahu gue, gak ada ilmu fisika yang bisa
mendefinisikan cinta, sama seperti apa yang Albert Einstein bilang;
“No,
this trick won't work... How on earth are you ever going to explain in terms of
chemistry and physics so important a biological phenomenon as first love?”
Lalu kisah
gue seperti apa?
Kisah gue
berawal di tahun 2009 silam. Kala itu, secara resmi seragam gue level up, dari
warna putih-merah menjadi putih biru. Kesan hari pertama? AWKWARD!
Gimana
enggak? Pas pertama masuk ruangan, semuanya langsung liatin gue! Dari bawah
sampai atas. Tentu, ini bikin gue jadi kikuk, awkward. Meski begitu, ada suatu
kejadian yang bikin hari gue jadi memorable.
“I met her
that day”
Dia, gadis
sipit yang mengubah segalanya. Hal yang pertama ia tanyakan adalah mengapa
jidat gue lebar, pertanyaan kampret :)) Dengan enteng gue jawab;
“Ini dari
pabriknya”
Seketika itu
dia dan teman sebangkunya ngakak. Lo tau? I think I fell in love at the first
sight. Setelah pandangan pertama, gue gak bisa berhenti memandang dia, dari
kursi belakang.
Ini kali
pertama gue jatuh cinta.. rasanya itu udah kayak skydive tanpa parasut. Lo tahu
ini berbahaya, tapi tetep lo lakuin karena percaya bahwa cinta bakal nyelamatin
lo. Lo juga tahu bahwa ini hanya ada dalam imajinasi.
Hari demi
hari berlalu, kemudian bulan silih berganti. Dia dan gue makin deket. Hal yang
bisa dibilang bahagia gue alami, pun kejadian yang bisa bikin anak umur 13
tahun diem bego karena sakit hati. Gue sempet ditinggal demi cowok lain.
Ceritanya, gue
modusin dia pas siang hari, waktu itu gue lagi beli gorengan di warung depan
rumah. Tiba-tiba dia balas sms, “kamu jangan deketin aku lagi, aku udah
pacaran.”
Jleb! Tanpa
sadar, gorengan yang udah gue beli berjatuhan perlahan.. Dunia seakan berhenti.
Dalam hati berkata, “gorengan kini tak lagi berarti…”
Seminggu
kemudian dia sms gue, nanyain kabar. Sebagai cowok yang punya harga diri gue
balas, “Ngapain sms? Kan lo udah ada dia?” Dia marah, kemudian ngejelasin kalo
dia udah putus.
Akhirnya,
kami jadian. Nggak lama, cuma 3 bulan. Dan diisi dengan ketidakdianggapan (kata
baru nih).
Pernah sekali dulu ada acara nonton film di sekolah, dia asyik sama
temennya sementara gue duduk sendirian. Pulang pun gak dikenalin ke temennya,
gue cuma bisa pulang sendiri… Menatap langit lewat jendela angkot.
Sehabis
putus, gue dapet informasi dari temen bahwa waktu itu gue diterima karena
kasihan. APAAN NIH?! Seharian gue galau, cuma bisa jadi kambing conge
ngedengerin guru yang ngejelasin di depan. Gue berusaha menjadi tegar, meski
gak bisa main ukulele.
Kemudian gue
berpikir, bahwa kalo mau skydive harus pake parasut. Cinta gak bisa diandalkan.
Tapi, tahun
2011, tepatnya pada tanggal 11 November, gue dan dia jadian lagi. Kali ini
karena masih punya perasaan satu sama lain. Gue sama dia punya mimpi yang sama,
yaitu tinggal di Inggris. I dunno, I guess we just love UK! Perumahannya,
Buckingham Palace, Harry Potter, and of course, Big Ben!
Kami sempat
berucap janji untuk bertemu di bawah menara tua itu. Ahh.. Mungkin hari ini,
hal tersebut tak bisa disebut janji, melainkan mimpi.. Mimpi dua bocah naïf.
“Tapi, naïf atau tidak, besar atau
kecil, mimpi harus tetap diperjuangkan.”
Setelah itu,
kami berjan- bermimpi, untuk nonton bareng selama 7 hari full menonton film
Harry Potter (tapi bukan dari pagi sampe malem juga kaleee). Hari pertama
berarti film pertama, kedua film kedua, dan seterusnya. Terkesan biasa aja?
Jangan salah, kami bermimpi nonton film di dalam bioskop dan bareng SEMUA
pemain film Harry Potter!!
Kemungkinan
cinta monyet untuk langgeng itu kecil banget. Betul aja, gue dan dia putus di
tahun 2012. Cukup singkat memang, dan yang lebih menyedihkan, pertengahan tahun
2012 kami dipisahkan oleh seragam baru. Beda sekolah.
Bulan Mei
2014, gue akhirnya bisa bertemu lagi sama dia, di suatu acara kumpul-kumpul
teman lama. Gue
udah sengaja beliin dia miniatur Big Ben. Dia seneng banget
ketika nerima miniatur yang gak begitu mahal ini. Pas temen-temen lagi
sibuk-sibuknya, kami akhirnya punya kesempatan untuk bercakap:
Gue :
“Oiya, gue belum ngasih tahu ke lo nih kenapa gue beliin miniatur.”
Dia :
“Lagian tadi malu atuh sama anak-anak. Yaudah sok sekarang, tapi bukan sogokan
untuk balikan kan?” (Wuanjir!)
Gue :
“Meh ya bukanlah.”
Dia :
“Ya terus?”
Gue :
“Lo inget kan dulu kita pernah janji, well, mimpi untuk ketemu di bawah jam tua
Big Ben?”
Dia :
“Hm” *Sambil ngangguk”
Gue :
“Kita gak pernah tahu apa yang bakal terjadi sama “kita” dalam beberapa tahun
ke depan, kan? Kita juga gak pernah tahu kan, kita bakal tinggal dimana nanti
5-10 tahun ke depan? Terlebih lagi, kita gak tahu juga kan apa mimpi kita bakal
kesampean atau enggak? Nah, oleh karena itu, gue sengaja beliin lo, lo pegang
satu, gue juga satu. Sebagai pengingat bahwa apabila salah satu dari kita, atau
bahkan kita berdua (amin!), bisa pergi dan bahkan tinggal disana, kita bakal
inget satu sama lain. Inget bahwa dulu kita pernah mengucap janji dan saling
bermimpi. So, ini bukan sogokkan buat balikan kok.”
Kemudian, dia tersenyum malu.
Comments
Post a Comment