Entri terakhir: untuk Yoana Vennezia

Image
Waktu itu tak berujung. Kita hidup di satu masa. Awalnya, lagu Akad oleh Payung Teduh terasa tidak relevan, setidaknya bagiku. Maksudnya, terlalu banyak muda-mudi kebelet nikah yang dengan sengaja meneriakkan lagu itu ke telinga orang. Memang, musiknya mudah didengar dan ringan. Tapi, kupikir liriknya tidak sekuat lagu Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan. Tapi, hari ini, lagu Akad seperti tiba-tiba merasuki aku. Tapi, aku gak menye-menye; aku tidak kebelet nikah, aku tetap sama. Tapi, entah mengapa lirik yang ringan itu cocok untuk meningat kamu, Yo. Aransemen musiknya tidak menyedihkan, tapi menyenangkan. Mungkin, sudah seharusnya itu yang aku, Tane, Iki dan yang lain rasakan. Kami gak perlu sedih soal kepergianmu itu. Kami, seharusnya, mengingat hidupmu itu, Yo. Hidupmu itu layak kami apresiasi setinggi-tingginya. Kamu sudah bantu aku berubah. Tahu gak? Aku gak pernah nangis di pemakaman, Yo. Tapi, kemarin aku seperti tidak kenal siapa aku. Dinding dan tampilan tangguh ya

Patung

“Mau apa sih?” Tanyanya canggung.
“Ngobrol, lah,” jawabku singkat.
“Ya, ngobrolin apa?”

Ia sering bertanya hal-hal yang tidak perlu dijawab, dan itu membuatku kesal. Maksudku, bukankah obrolan tak perlu dicari? Topik pembicaraan akan selalu ada. Kecuali jika memang tak ada niatan mengobrol, maka topik apapun takkan pernah terdengar seru.

“Yasudah, sok apa, kang?” Tanyanya sekali lagi.
“Masa disini?” Jawabku makin kesal.
“Emang akang maunya dimana?”

Ingin kujawab; “di Arab sana!” Aku tak habis pikir. Elokkah bila mengobrol di tengah jalan? Ditambah lagi, ia beralasan ingin ganti baju, padahal baru saja bel istirahat. Masih ada waktu satu jam untuk bersantai sebelum pembelajaran dimulai lagi.

Baru kali ini ada gadis yang menolak ajakanku mentah-mentah. Pikiranku menari-nari, mencoba menerka apa yang ia pikirkan. Namun, hasrat kutahan, logika kuutamakan. Lagian, untuk apa mengobrol jika ia tak ada niatan? Lebih baik bicara dengan batu.


Sekali lagi aku berpikir. Berusaha melemparkan diri ke awal pertemuan kami. Oh, apakah karena waktu itu aku terlalu buru-buru? Tapi, aku rasa tidak. Berkenalan secara langsung tak pernah terburu-buru.

Lantas apa? Kaget? Tentu! Aku ingat sekarang, waktu itu aku terlalu bersemangat. Kedatanganku tak terduga dan seperti Pokémon liar. Muncul dari jejeran kembang perkarangan ruang OSIS dan menjulurkan tangan seperti hendak meminta sumbangan. Ya, aku ingat sekarang.

“A-apa ini.. Kang?” Ia terlihat ketakutan.
“Kenalan,” kataku enteng.

Patung. Seperti itulah dia waktu itu. Teman wanitanya hanya tersenyum meledek sementara keringan dinginnya membasahi kening. Kujulurkan tangan lebih jauh lagi. Ia melihat temannya dengan wajah pucat.

“Erwin,” seraya menyambut tangannya.
“P-putri.”

Kontak fisik tersebut sengaja kutahan beberapa detik. Membuatnya semakin canggung. Tak ingin membuatnya lebih takut, kulepaskan. Dari situ, kutanya apa ia pakai Facebook atau tidak.

“Unamenya apa?” Tanyaku.
“Hah?”
“Namanya apa?” Sekali lagi kutanyakan. Gangguan telinga, kah?
“Apanya?”
“Nama Facebookmu,” kucoba menanggapinya dengan tenang.
“Oh! Putri Ayuningtyas, kang!”
“Akhirnya!” Teriakku dalam hati.

Tadinya, aku pikir lebih baik berkenalan lewat media sosial. Ia takkan terlalu canggung atau takut. Bagaimana bisa tapi, bila ia tak menggunakannya? Maka, aku pikir berkenalan dengan spontan akan lebih mudah baginya untuk mengingatku.

Namun, aku salah. Ia tak terpesona layaknya diriku dulu. Parasnya yang cantik berteduh di bawah atap kantin dari teriknya matahari. Sekalipun tempat itu lebih mirip kandang ayam, ia tetap cantik. Kulitnya hitam manis, namun bersih. Pipinya seperti gumpalan surga yang dititipkan Tuhan agar manusia bisa menikmatinya. Alis tebalnya membuatku delusional, seperti melihat betis bidadari diantara kepala rakyat jelata yang menunduk.

Yang paling indah adalah matanya. Sepasang bola Kristal yang bercahaya. Keduanya seakan mengatur angin untuk menggeledah seluruh tubuh. Hal itu membuatku peka, meski keringat dingin bercucuran. Rasanya aku bisa mendengar obrolannya lewat angin yang ia kirim.

Siapa dia? Aku bertanya-tanya, mencari tahu siapa dia. Kutahan rasa penasaranku hingga perkenalan yang tadi kuceritakan. Caraku mungkin salah. Tak semua bidadari suka kejutan. Daripada harus putus asa, aku rasa lebih baik menjajal cara komunikasi lain-komunikasi virtual.


Hari itu sedang panas sekali dan aku tak berada di sekolah. Sebagai siswa SMK, magang merupakan salah satu syarat kelulusan. Entah, matahari begitu terik. Mungkin benar apa kata orang, neraka bocor. Dinding pembatas antara neraka dan atmosfir bumi sedang digerogoti tikus penghuni tempat jahanam itu. Bisa jadi itulah satu-satunya alasan yang logis.

Ah, es krim bisa mengendurkan saraf yang menegang. Pada jam istirahat, aku putuskan untuk makan di kedai favorit. Untung saja letak kedainya tak begitu jauh dari kantor tempatku magang. Wah, sedang ramai rupanya. Di meja depan dekat gerobak es krim, ada dua gadis tengah duduk. Rasanya aku kenal mereka, perasaanku berkata begitu. Ketika aku menghampiri si Aa (begitulah panggilanku kepada pemilik kedai), ternyata benar. Itu Putri!

Ini adalah kesempatan emas karena waktu itu aku lihat ia sibuk dengan perangkat BlackBerry miliknya. Awalnya aku berpura-pura tidak melihatnya hingga mendengar percakapan mereka. Kawannya.. ah, saat-saat begini otak imbesilku tak lagi bisa diandalka. Aku lupa namanya, mungkin baiknya kupanggil Yena saja.

Yena tertawa kecil. Kulihat dia menunjuk kepadaku. Maka, aku balikkan badan. Alangkah kagetnya Putri. Sekali lagi ia gelagapan dan otakku mulai bekerja. Apakah ia tadi berharap aku tak melihatnya sama sekali? Bisa jadi. Persetan dengan asumsi itu, kataku dalam hati. Jika aku hendak meminta nomor telepon genggamnya, ini saatnya.

“Hai,” sapaku.
“Hai, kang,” balas keduanya.

Si Yena sekali lagi tertawa dan Putri diam. Aku mungkin sudah merusak acara keduanya, dan seharusnya minggat dari situ. Namun, aku pikir ia akan memberikan nomornya, karena disitu tak ada kawan satu sekolah. Kucoba tenang.

“Boleh aku minta nomor hape kamu?”
“Aduh, gimana ya? Enggak hapal aku,” jawabnya kaku.

Klasik. Entah berbohong atau tidak, aku rasa dia hanya beralasan. Ketika kutanya Yena, mereka seperti berbicara dengan kode. Ia pakai nomor baru. Aku tak bermaksud menuduhnya berbohong, boleh saja ia melakukannya. Toh memang aku hanya sekadar kenalannya, bukan? Tapi, jawaban ia sungguh klasik. Setahuku, di tahun ini mudah sekali melihat nomor yang sedang digunakan. Pelbagai cara dapat digunakan.

Sadar akan jawabannya yang seakan mengusir, maka kuputuskan untuk tidak makan di tempat. Segera setelah pesanan dibungkus, aku pamitan kepada keduanya. Perjalanan singkat ke kantor pun diisi dengan pertanyaan; ‘lanjut atau tidak?’ Di parkiran, Igun duduk sambil menikmati sebotol minuman bersoda, yang katanya sanggup membersihkan kloset. Minuman itu bagus menurutku, dengan meminumnya perut orang akan bersih dari segalanya, bakteri dan segala jenis cacing akan mati.

“Sudah makan?” Tanyaku.
“Kau dari mana?” Ia balas dengan pertanyaan.

Pesanan yang kubawa pun aku buka. Igun sudah kenyang jadi aku harus menghabiskan es sendiri. Ia teguk sekali lagi, dan aku masih berpikir. Aku menghela napas.


“Bagaimana kau dengan Putri?” Pertanyaan itu langsung menerkam ketenangan.
“Entahlah. Tadi aku bertemu dengannya.”
“Iya, kah? Kau sempat mengobrol?”
“Kau sudah tahu. Aku bertanya nomornya tadi, ia bilang tak hapal. Bagiku, lebih terdengar, ‘tak boleh.’”
“Ingin kupintakan?”

Tawaran itu sudah kutolak sebelumnya dan jawabannya akan tetap seperti itu. Bisa saja aku menelponnya dengan meminta nomor kepada kawanku di OSIS. Tapi, menurutku jangan. Maksudku, kau tahu apa saja yang telah kulakukan, dan semuanya berakhir kegagalan. Citraku akan lebih rusak, karena aku mendapatkan nomor seseorang tanpa seijin pemiliknya. Jika aku kirimi pesan, mungkin ia akan terpaksa berpikir dalam-dalam hanya untuk membalasnya. Atau bahkan, takkan pernah dibalas sama sekali.

“Aku rasa, aku harus berhenti berusaha,” kataku.
“Mengapa? Kau sudah berjuang, tinggal sedikit lagi,” balas Igun.
“Kau tahu, aku telah menerornya selama ini. Aku berusaha menghampirinya tiap bertemu, meminta nomor telepon dan mengajak ngobrol.”
“Lah? Bukankah setiap anak lelaki begitu?”
“Memang, tapi tak semuanya punya tatapan sepertiku. Kadang, aku lihat ia takut. Mungkin ia berpikir aku adalah seorang bocah jahat dengan pandangan pembunuh. Atau mungkin, ia mengira aku adalah bocah cabul yang akan menyergapnya kapan saja. Aku tak pernah tahu, dan aku tak ingin ia terus begini.”
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, Win,” kata Igun.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Tebakanmu mungkin benar.”

“Sialan.”

Comments

Popular posts from this blog

As a Good Friend..

Into the Citylight

Angin-angin Keparat