“Mau apa sih?” Tanyanya canggung.
“Ngobrol, lah,” jawabku singkat.
“Ya, ngobrolin apa?”
Ia sering bertanya hal-hal yang tidak perlu dijawab, dan itu
membuatku kesal. Maksudku, bukankah obrolan tak perlu dicari? Topik pembicaraan
akan selalu ada. Kecuali jika memang tak ada niatan mengobrol, maka topik
apapun takkan pernah terdengar seru.
“Yasudah, sok apa, kang?” Tanyanya sekali lagi.
“Masa disini?” Jawabku makin kesal.
“Emang akang maunya dimana?”
Ingin kujawab; “di Arab sana!” Aku tak habis pikir. Elokkah
bila mengobrol di tengah jalan? Ditambah lagi, ia beralasan ingin ganti baju,
padahal baru saja bel istirahat. Masih ada waktu satu jam untuk bersantai
sebelum pembelajaran dimulai lagi.
Baru kali ini ada gadis yang menolak ajakanku mentah-mentah.
Pikiranku menari-nari, mencoba menerka apa yang ia pikirkan. Namun, hasrat
kutahan, logika kuutamakan. Lagian, untuk apa mengobrol jika ia tak ada niatan?
Lebih baik bicara dengan batu.
…
Sekali lagi aku berpikir. Berusaha melemparkan diri ke awal
pertemuan kami. Oh, apakah karena waktu itu aku terlalu buru-buru? Tapi, aku
rasa tidak. Berkenalan secara langsung tak pernah terburu-buru.
Lantas apa? Kaget? Tentu! Aku ingat sekarang, waktu itu aku
terlalu bersemangat. Kedatanganku tak terduga dan seperti Pokémon
liar. Muncul dari jejeran kembang perkarangan ruang OSIS dan menjulurkan tangan
seperti hendak meminta sumbangan. Ya, aku ingat sekarang.
“A-apa ini.. Kang?” Ia terlihat ketakutan.
“Kenalan,” kataku enteng.
Patung. Seperti itulah dia waktu itu. Teman wanitanya hanya
tersenyum meledek sementara keringan dinginnya membasahi kening. Kujulurkan
tangan lebih jauh lagi. Ia melihat temannya dengan wajah pucat.
“Erwin,” seraya menyambut tangannya.
“P-putri.”
Kontak fisik tersebut sengaja kutahan beberapa detik.
Membuatnya semakin canggung. Tak ingin membuatnya lebih takut, kulepaskan. Dari
situ, kutanya apa ia pakai Facebook atau tidak.
“Unamenya apa?” Tanyaku.
“Hah?”
“Namanya apa?” Sekali lagi kutanyakan. Gangguan telinga,
kah?
“Apanya?”
“Nama Facebookmu,” kucoba menanggapinya dengan tenang.
“Oh! Putri Ayuningtyas, kang!”
“Akhirnya!” Teriakku dalam hati.
Tadinya, aku pikir lebih baik berkenalan lewat media sosial.
Ia takkan terlalu canggung atau takut. Bagaimana bisa tapi, bila ia tak
menggunakannya? Maka, aku pikir berkenalan dengan spontan akan lebih mudah
baginya untuk mengingatku.
Namun, aku salah. Ia tak terpesona layaknya diriku dulu.
Parasnya yang cantik berteduh di bawah atap kantin dari teriknya matahari.
Sekalipun tempat itu lebih mirip kandang ayam, ia tetap cantik. Kulitnya hitam
manis, namun bersih. Pipinya seperti gumpalan surga yang dititipkan Tuhan agar
manusia bisa menikmatinya. Alis tebalnya membuatku delusional, seperti melihat
betis bidadari diantara kepala rakyat jelata yang menunduk.
Yang paling indah adalah matanya. Sepasang bola Kristal yang
bercahaya. Keduanya seakan mengatur angin untuk menggeledah seluruh tubuh. Hal
itu membuatku peka, meski keringat dingin bercucuran. Rasanya aku bisa
mendengar obrolannya lewat angin yang ia kirim.
Siapa dia? Aku bertanya-tanya, mencari tahu siapa dia.
Kutahan rasa penasaranku hingga perkenalan yang tadi kuceritakan. Caraku
mungkin salah. Tak semua bidadari suka kejutan. Daripada harus putus asa, aku
rasa lebih baik menjajal cara komunikasi lain-komunikasi virtual.
…
Hari itu sedang panas sekali dan aku tak berada di sekolah.
Sebagai siswa SMK, magang merupakan salah satu syarat kelulusan. Entah,
matahari begitu terik. Mungkin benar apa kata orang, neraka bocor. Dinding
pembatas antara neraka dan atmosfir bumi sedang digerogoti tikus penghuni
tempat jahanam itu. Bisa jadi itulah satu-satunya alasan yang logis.
Ah, es krim bisa mengendurkan saraf yang menegang. Pada jam
istirahat, aku putuskan untuk makan di kedai favorit. Untung saja letak
kedainya tak begitu jauh dari kantor tempatku magang. Wah, sedang ramai
rupanya. Di meja depan dekat gerobak es krim, ada dua gadis tengah duduk.
Rasanya aku kenal mereka, perasaanku berkata begitu. Ketika aku menghampiri si
Aa (begitulah panggilanku kepada pemilik kedai), ternyata benar. Itu Putri!
Ini adalah kesempatan emas karena waktu itu aku lihat ia
sibuk dengan perangkat BlackBerry miliknya. Awalnya aku berpura-pura tidak
melihatnya hingga mendengar percakapan mereka. Kawannya.. ah, saat-saat begini
otak imbesilku tak lagi bisa diandalka. Aku lupa namanya, mungkin baiknya
kupanggil Yena saja.
Yena tertawa kecil. Kulihat dia menunjuk kepadaku. Maka, aku
balikkan badan. Alangkah kagetnya Putri. Sekali lagi ia gelagapan dan otakku
mulai bekerja. Apakah ia tadi berharap aku tak melihatnya sama sekali? Bisa
jadi. Persetan dengan asumsi itu, kataku dalam hati. Jika aku hendak meminta
nomor telepon genggamnya, ini saatnya.
“Hai,” sapaku.
“Hai, kang,” balas keduanya.
Si Yena sekali lagi tertawa dan Putri diam. Aku mungkin
sudah merusak acara keduanya, dan seharusnya minggat dari situ. Namun, aku
pikir ia akan memberikan nomornya, karena disitu tak ada kawan satu sekolah.
Kucoba tenang.
“Boleh aku minta nomor hape kamu?”
“Aduh, gimana ya? Enggak hapal aku,” jawabnya kaku.
Klasik. Entah berbohong atau tidak, aku rasa dia hanya
beralasan. Ketika kutanya Yena, mereka seperti berbicara dengan kode. Ia pakai
nomor baru. Aku tak bermaksud menuduhnya berbohong, boleh saja ia melakukannya.
Toh memang aku hanya sekadar kenalannya, bukan? Tapi, jawaban ia sungguh
klasik. Setahuku, di tahun ini mudah sekali melihat nomor yang sedang
digunakan. Pelbagai cara dapat digunakan.
Sadar akan jawabannya yang seakan mengusir, maka kuputuskan
untuk tidak makan di tempat. Segera setelah pesanan dibungkus, aku pamitan
kepada keduanya. Perjalanan singkat ke kantor pun diisi dengan pertanyaan; ‘lanjut
atau tidak?’ Di parkiran, Igun duduk sambil menikmati sebotol minuman bersoda,
yang katanya sanggup membersihkan kloset. Minuman itu bagus menurutku, dengan
meminumnya perut orang akan bersih dari segalanya, bakteri dan segala jenis
cacing akan mati.
“Sudah makan?” Tanyaku.
“Kau dari mana?” Ia balas dengan pertanyaan.
Pesanan yang kubawa pun aku buka. Igun sudah kenyang jadi
aku harus menghabiskan es sendiri. Ia teguk sekali lagi, dan aku masih
berpikir. Aku menghela napas.
“Bagaimana kau dengan Putri?” Pertanyaan itu langsung menerkam ketenangan.
“Entahlah. Tadi aku bertemu dengannya.”
“Iya, kah? Kau sempat mengobrol?”
“Kau sudah tahu. Aku bertanya nomornya tadi, ia bilang tak
hapal. Bagiku, lebih terdengar, ‘tak boleh.’”
“Ingin kupintakan?”
Tawaran itu sudah kutolak sebelumnya dan jawabannya akan
tetap seperti itu. Bisa saja aku menelponnya dengan meminta nomor kepada
kawanku di OSIS. Tapi, menurutku jangan. Maksudku, kau tahu apa saja yang telah
kulakukan, dan semuanya berakhir kegagalan. Citraku akan lebih rusak, karena
aku mendapatkan nomor seseorang tanpa seijin pemiliknya. Jika aku kirimi pesan,
mungkin ia akan terpaksa berpikir dalam-dalam hanya untuk membalasnya. Atau
bahkan, takkan pernah dibalas sama sekali.
“Aku rasa, aku harus berhenti berusaha,” kataku.
“Mengapa? Kau sudah berjuang, tinggal sedikit lagi,” balas
Igun.
“Kau tahu, aku telah menerornya selama ini. Aku berusaha
menghampirinya tiap bertemu, meminta nomor telepon dan mengajak ngobrol.”
“Lah? Bukankah setiap anak lelaki begitu?”
“Memang, tapi tak semuanya punya tatapan sepertiku. Kadang,
aku lihat ia takut. Mungkin ia berpikir aku adalah seorang bocah jahat dengan
pandangan pembunuh. Atau mungkin, ia mengira aku adalah bocah cabul yang akan
menyergapnya kapan saja. Aku tak pernah tahu, dan aku tak ingin ia terus
begini.”
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, Win,” kata Igun.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Tebakanmu mungkin benar.”
“Sialan.”
Comments
Post a Comment